Haruskah Trauma Pada Kematian?


Kehilangan, sebuah kata  yang semua orang tidak menginginkannya. Ada tersirat rasa kecewa dan kesedihan apalagi itu sesuatu yang sangat berharga  sangat disukai , disayangi. Kehilangan uang, kehilangan kendaraa , kehilangan pekerjaan dll. Namun kehilagan sesuatu yang bersifat kebendaan itu cepat terobati. 
Ya, jika kehilangan ponsel ntah itu dicuri atau tercecer, pasti sedih, namun kita bisa menemukan penggantinya, sebentar lagi juga gajian, ah ..nanti nabung lagi untuk membeli yang baru, begitu juga yang lainnya. Namun bagaimana jika kehilangan orang yang kita cintai, yang disebabkan oleh maut? Maut adalah sesuatu yang pasti , namun rahasia yang kita tidak tahu itu ntah kapan.  Ada jarak yang begitu jauh yang memisahkan, ada sepi dalam rindu yang tak pernah terobati dalam sebuah pertemuan nyata. Ada sedih yang tak bisa dihibur oleh hiruk pikuk keramaian.

Tidak berani membayangkan hal itu terjadi dalam kehidupan, takut tak bisa melewati kesedihan itu.  Saya sendiri pun begitu, disaat ada teman yang ayah atau ibu nya meninggal, saya memejamkan mata kuat-kuat  saat mereka menangis didepan jenazah, karena saya tidak kuat melihatnya dan ngeri membayangkan itu terjadi pada saya.  Pada tahun 2011 lalu untuk kali pertama saya ada dalam susasana duka, bukan sebagai pelayat. Adik ipar saya meninggal , terasa banget suasana duka sedihnya,  tapi sedih yang saya rasakan lewat begitu saja karena tak banyak kenangan bersamanya . Beda dengan suami yang tiap hari bercerita tentang kenangan adiknya. Ibu mertua dan kakak ipar tidak mau  lagi ke Rumah Sakit itu lagi, katanya “trauma” karena beberapa tahun sebelum adik meninggal , mendiang bapak mertua juga dirawat disana sebelum meninggal. 

Pertengahan tahun 2018 lalu ibuku terpaksa masuk ruang ICU karena penurunan kesadaran akibat diabetes yang ia idap. Saat  masuk ruang ICU suami menangis, berbisik bahwa ini adalah tempat tidur yang sama dimana adiknya dulu menghembuskan nafas terakhirnya. Disitu kami nangis takut hal serupa terjadi pada Ibu. Namun semua telah ditetapkan ketika ajal telah datang  tak bisa untuk ditunda, setelah lima hari diruang ICU ibu akhirnya meninggalkan kami untuk selamanya. Sunggguh air mata tak dapat dibendung, hati pun terasa hampa, kosong. Kerinduan yang hanya bisa disampaikan lewat bait-bait do’a, tiada lagi pertemuan hanya tinggal bayangan dalam kenangan-kenangan yang berkelebat saat  kerinduan itu datang. Rasa pilu itu belum hilang. Sedih itu masih suka muncul, air mata pun kadang masing menggenang ketika bayangan ibu lewat dalam kenangan . Akhir 2019 tepat satu setengah tahun kepergian ibu, ayah pun menyusul. Sungguh sebuah luka yang tergores kembali sebelum benar-benar sembuh.
Sedih banget, ketika tangan ikut mengalirkan air dan mengusapkan air ke wajah beliau saat memandikanya.
Kehilangan yang tak pernah tergantikan 

Ada sebuah sesal dihati, kenapa tidak begini dan begitu. Namun ada peristiwa yang menampar kami. Jadi ceritanya Ayah saya meninggal pada sore hari Sabtu dan akan dikebumikan esok nya hari Minggu. Malam Minggu itu selepas Maghrib tetangga dan jemaah musholah dekat rumah datang ke rumah untuk mengaji dan mendoakan almarhum ayah saya. Salah satu tetangga yang hadir sebut saja bapak X yang ikut mengaji dirumah, qadarullah juga dimakamkan dihari yang sama dengan ayah saya. Sungguh ajal begitu misteri, siapa menduga jika ternyata kita juga dimakamkan dihari yang sama dengan orang yang kita doakan? . Kata seandainya hanya hasutan syetan untuk mengingkari takdir Nya


Setelah dua kali mengalami sedihnya kehilangan oleh kematian, aku baru menyadari bahwa kita tak bisa berkata “ semoga ini gak kejadian lagi” , tidak ada kata trauma untuk sebuah kesedihan yang disebabkan maut. Kematian itu pasti  hanya saja kita tak tahu ntah kapan. Kita masih punya saudara , punya kakak, adik, ipar, suami,istri, anak, bahkan diri kita sendiri pun akan “dijemput”. Mustahil kita semua berumur sangat panjang. Itu artinya kita  akan banyak melewati kesedihan-kesedihan yang disebabkan kematian. Hanya bisa berdoa semoga Allah memanjangkan umur orang-orang yang disayangi, sehingga kita masih bisa punya waktu untuk bersama . Aamiin.
Kematian adalah pelajaran berharga 


Bebarapa hari ini masih hangat tentang berita wafatnya suami  Bunga Citra Lestari yang begitu mendadak, padahal beberapa menit sebelumnya masih ngobrol. Terbayang betapa sedih dan pilunya, tudak heran jika banyak yang ikut merasakan sedihnya.  Jadi jika ada postingan bapak bapak di instagram bilang “ Suami orang  meninggal diratapi, suami sendiri masih hidup diomelin”. Mungkin sibapak nyindir istrinya , karena  tiap hari diomelin istrinya maklumin saja heheheh . Bukan meratapi kepergian  suami orang tapi membayangkan bagaimana sedihnya ditinggal suami, namanya perempuan itu mengedepankan perasaan , jadi lebih sensitif, wong nonton sinetron jelas-jelas cerita fiktif suka berurai airmata, apalagi kisah nyata. 


Walau postingan si bapak kalau rada nyebelin  tapi bisa jadi bahan intropeksi untuk kita. Evaluasi lagi bagaimana kita bersikap dengan orang-orang terdekat kita. Perbaiki sikap, perbanyak silaturahmi dengan kakak, adik dan saudara, lebih sayang pasangan dan anak karena kita tak tahu kapan maut menjemput. Ternyata benar kematian itu adalah pembelajaran buat yang hidup, belajar untuk  berbuat lebih baik, belajar tentang bekal setelah kematian , bahwa taka da yang dibawa selain amal.

17 komentar

  1. Aku ikut sedih mba. Aku kehilangan papa dan adikku. Bahkan aku temani adikku sampai hembusan nafas terakhir. Rasanya itu baru kejadian hari kemarin, sakitnya kehilangan itu masih terasa. Bukannya ga terima tapi kehilangan itu benar-benar meninggalkan luka. Oleh karena itu aku ingin hidup dengan sebaik2 peranku agar tak ada lagi sesal yang tersisa dikemudian hari

    BalasHapus
  2. Setuju banget.
    Ibu-ibu itu bukan meratapi Ashrafnya, tapi membayangkan jika mereka berada di posisi tersebut.

    Sayapun kadang nggak sanggup meski hanya dibayangkan, tapi percaya, Allah tak akan memeberikan sesuatu, baik rezeki maupun musibah jika hambaNya nggak mampu memikulnya :)

    BalasHapus
  3. makasih sahringnya, ya kematian memang misteri

    BalasHapus
  4. saya udah pernah merasakan kehilangan mbak sewaktu SMA, awal2 memang berat dijalani karena terasa sekali perbedaan rumah, yg semula ada seseorang disana, sekarang udah ga ada lagi.

    rasa kehilangan akan hilang seiring berjalannya waktu, sampai diri mulai terbiasa.

    memang ajal ga ada yg tau kapan akan datang

    BalasHapus
  5. Sebelumnya saya juga tidak pernah membayangkan kehilangan kakek dan nenek saya mbak. Tapi ketika waktunya tiba, semuanya akan kembali kepada sang pencipta. Saya nangis waktu kakek pergi selama-lamanya, tidak genap setahun kemudian ternyata nenek yang mengasuh saya di waktu kecil juga meninggal dunia. Sampai sekarang kadang merasa mimpi, masa sih kakek nenek sudah meninggal.Tapi saya harus menerima kenyataan

    BalasHapus
  6. Mbak Nova, menyentuh banget tulisan ini. Saya sampai bergetar membacanya. Ya Allah, semoga kita menjadi sebaik - baik manusia dan mampu bersikap baik ketika harus mengalami rasa sakit ditinggal orang yang disayang.

    BalasHapus
  7. Aku kehilangan ibu aja lukanya masih terasa hingga kini mba dan dulu juga aku sering berandai2 tapi ini sudah ketetapan Alloh, untuk kejadian BCL juga aku memposisikan di posisi dia krn sakit yah kehilangannya begitu cepat :(

    BalasHapus
  8. Aku kehilangan ibu aja lukanya masih terasa hingga kini mba dan dulu juga aku sering berandai2 tapi ini sudah ketetapan Alloh, untuk kejadian BCL juga aku memposisikan di posisi dia krn sakit yah kehilangannya begitu cepat :(

    BalasHapus
  9. Semogaaa orang2 tua dan kesayangan yg lebih dulu mendahului kita husnul khotimah ya Mba.
    Berita kematian ini membuatku dzikrul maut senantiasa

    BalasHapus
  10. Sejujurnya kalau bilang kematian aku tu takut ya namanya juga manusia kan ya.. Wajar... Apalagi di tinggal anak ya mom

    BalasHapus
  11. Kemarin bapak masuk ICU aja hatiku udah ga karu2an, walau ga dekat sama bapak tapi waktu jenguk di ICU dan liat beliau lemaaaaah banget aku jadi mikir macam2. Ya Alloh. Semoga kita sempat mempersiapkan bekal sebelum kematian menjemput ya Mba

    BalasHapus
  12. Makasi remindernya ya mak.. Bener banget, seharusnya dari semua kematian yang melewati kita, harusnya menjadi pembelajaran dan pengingat untuk diri kita sendiri ya mak..

    BalasHapus
  13. Aku tahu bagaimana rasanya berduka ditinggalkan orang yang kita cintai. Bapakku meninggal sejak 22 tahun yang lalu, sampai sekarang aku masih mengingat jelas bagaimana ketika beliau masih hidup, segala petuahnya dan ketulusannya. Lalu kakak sulungku pun meninggal 6 tahun yang lalu, begitu cepat dan belum siap rasanya. Tapi waktu dan doa-doa akan menyembuhkannya.

    BalasHapus
  14. Sejauh ini kehilangan yang saya rasakan banget berasal dari eyang dari sisi bapak dan akung dari sisi ibu. Sebenernya makin ke sini juga makin sering mikirin, gimana caranya saya coping dengan rasa kehilangan seperti ditinggal orang tua yang meninggal. Masih nggak bisa bayangin dan rasanya sedih banget saat coba ngebayangin. Apalagi saya anak tunggal. Rasanya masih belum siap kalo nantinya ditinggal orang tua :((((

    BalasHapus
  15. Ini sekaligus self reminder juga.
    Bahwa kematian adalah keniscayaan.
    Semoga kelak kita termasuk orang-orang yang "berakhir dengan baik" ya.
    Insya Allah, Insya Allah.

    BalasHapus
  16. hmm setuju mba :) jadi ikut merasakan..

    BalasHapus
  17. Sepakat, kematian adalah pelajaran berharga untuk yang ditinggalkan. Rasanya ada ruang yang kosong tiba- tiba. Pilihannya adalah tetap berjuang dan hidup lebih baik atau terpuruk dalam kesedihan.

    BalasHapus

Terimakasih atas kunjungannya, jangan lupa tinggalkan kritik dan sarannya di sini yach...:), Tidak terima komentar spam dan komentar mengandung Link,brokenlink , dan harus menggunakan nama semestinya , anonim dan merk tidak akan diterbitkan.