Belajar Sadar Diri dan Memahami Luka Orang Lain

memahami-luka-orang-lain

Jujur, terkadang kita merasa tidak sabar menghadapi tingkah laku anak. Seringkali, kita memarahinya dengan emosi yang meledak-ledak. Setelah itu, rasa sesal datang menghantui: “Kenapa aku tidak bisa sedikit lebih sabar? Kenapa harus semarah itu, padahal semua bisa disampaikan dengan tenang?” Pertanyaan-pertanyaan itu muncul bukan tanpa sebab. Kadang, kita pun bertanya lebih dalam pada diri sendiri: “Apakah ini luka batin dari masa lalu? Apakah ini karena orang tua dulu terlalu keras?” Bukan untuk menyalahkan mereka, apalagi membuka aib, tapi untuk mengambil pelajaran dari perjalanan hidup.

Pernah terlintas pikiran, mungkin wajar dulu ibu mudah marah—kadang sampai memukul tanpa perhitungan. Hidup yang dijalaninya begitu berat. Kelelahan karena pekerjaan, tekanan ekonomi, dan minimnya informasi soal parenting (bisa dibilang gak ada), membuat mereka menjalani hari demi hari hanya untuk bertahan hidup. Mereka adalah bagian dari generasi boomer, yang lahir dari orang tua generasi sebelumnya yang mengalami masa krisis, . Maka, perilaku mereka pun sebagian adalah warisan luka dari masa kecil yang tak sempat mereka sembuhkan, bahkan semakin hari semakin banyak luka  karena jalan yang dilalui tidak mudah

Bersyukur hidup di zaman sekarang, kita memiliki kesempatan untuk menyembuhkan diri. Banyak psikolog berbagi ilmu secara gratis, tersedia buku dan artikel yang bisa membantu kita berdamai dengan masa lalu. Kita belajar menjadi pribadi yang lebih tenang, lebih sadar, dan mampu memaafkan. Hingga akhirnya, ketika ada hal yang "menyenggol" perasaan, kita tidak langsung bereaksi berlebihan—karena luka itu mulai sembuh. Maka, tidak heran jika kita melihat orang yang mudah marah atau histeris karena hal keci, bisa jadi mereka sedang menyimpan luka yang dalam, yang belum sembuh hingga hari ini.

Sekarang, selain memperbaiki diri, kita juga perlu belajar memahami orang-orang di sekitar. Mulai dari keluarga dekat, kerabat, atau teman. Mungkin ada bude, tante, kakak, atau sepupu yang kalau bicara selalu ketus, suka marah-marah, seolah tidak bisa tenang. Sebelum menilai, lihat latar belakangnya. Bisa jadi, mereka terluka karena himpitan ekonomi, pasangan yang toxic, pengkhianatan, atau trauma yang tak pernah sembuh. Jujur saja, dalam kondisi seperti itu, nasihat kita seringkali tak akan diterima. Bukan karena mereka tak mau berubah, tidak mau untuk lebih tenang dan mencari solusi tapi karena luka mereka terlalu dalam sehingga lebih fokus ke rasa sakit mereka. Bahkan nasihat terbaik sekalipun bisa terasa menyakitkan seperti meneteskan obat pada luka terbuka yang sangat perih. Orang yang sedang terluka tidak selalu ingin diperbaiki. Ia hanya ingin didengarkan dan dipahami. Ada beberapa bentuk pertahanan diri yang sering muncul dari luka batin yang belum sembuh. Merasa tidak ada yang memahami dia, Nggak ada yang ngerti aku.” Ini adalah ekspresi dari rasa sakit yang terdalam. Saat seseorang mengatakannya, dia tidak sedang menolak nasihat, tapi sedang menolak merasa disalahkan. Merasa Sendirian dalam Rasa Sakitnya. Orang dengan luka berat sering merasa tidak ada yang benar-benar mengerti dirinya. Saat dinasehati, yang terdengar adalah: “Kamu salah.” Nasihat Terdengar Seperti Penghakiman. Walau niatnya baik, nasihat bisa terdengar seperti penghakiman jika tidak disampaikan dengan empati. Lelah dengan Solusi. Dalam fase tertentu, seseorang yang terluka tidak butuh solusi. Ia hanya butuh tempat untuk meluapkan perasaannya terlebih dahulu.

Mulai dari Diri Sendiri Kita tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi kita bisa belajar darinya. Kita tidak bisa menyembuhkan luka orang lain secara langsung, tetapi kita bisa hadir sebagai sosok yang memahami, bukan menghakimi. Dan yang paling penting, kita harus mulai menjadi pribadi yang sadar—sadar akan luka kita, sadar saat emosi mulai memuncak, dan sadar bahwa menjadi jujur terhadap perasaan sendiri adalah awal dari proses penyembuhan. Sadar bahwa kita bisa memilih untuk tidak mengulangi pola yang sama, dan sadar bahwa kesabaran adalah bentuk cinta yang tidak selalu mudah, tapi bisa dilatih.

Ketika kita menjadi sasaran amarah orang lain, padahal secara logika kita tidak melakukan kesalahan, atau hanya terjadi kesalahpahaman dan kita tetap menerima kemarahan itu, ada baiknya kita menjaga jarak. Batasi komunikasi atau silaturahmi seperlunya. Jika orang tersebut bukanlah orang dekat, lebih baik hentikan alias cut off Kita bukan pahlawan atau relawan yang bertugas menyembuhkan orang lain. Jangan biarkan hubungan yang tidak seimbang justru melukai diri kita sendiri.

Posting Komentar