Belajar Tenang, Walau kadang suka gagal

Usia sudah beberapa tahun melampaui angka 40. Aku berharap bisa menjalani hari dengan perasaan damai dan tenang—tanpa drama, tanpa rasa kesal, dongkol, atau cemas memikirkan terlalu banyak hal
sumber foto canva

Usia sudah beberapa tahun melampaui angka 40. Aku berharap bisa menjalani hari dengan perasaan damai dan tenang—tanpa drama, tanpa rasa kesal, dongkol, atau cemas memikirkan terlalu banyak hal. Beberapa waktu lalu, aku membaca buku dan menonton konten tentang Stoikisme.

Secara sederhana, stoikisme mengajarkan kesadaran diri: fokus pada apa yang bisa kita kendalikan—yaitu pikiran, perasaan, dan hati kita sendiri. Misalnya, ketika ada orang berbicara ketus atau menyindir, kita memilih tidak bereaksi cepat, tapi merespons dengan tenang. Karena kita tidak bisa mengendalikan orang lain atau hal-hal di luar diri, maka satu-satunya yang bisa dikendalikan adalah diri sendiri. Tinggal pilih: mau tenang atau mau ribut. Kadang memang lebih baik ditinggalin daripada diladenin. Meluapkan emosi sering kali hanya membuat lelah fisik dan perasaan.

Itu teorinya. Tapi prakteknya? Pasti susah banget, kan?

Perjalanan belajar tenang memang tidak selalu mulus, apalagi sebagai seorang ibu, istri, dan juga perempuan yang bekerja. Ada hari-hari ketika hati terasa lapang, pikiran jernih, dan semuanya terasa bisa dihadapi. Namun ada juga saat emosi datang tanpa aba-aba. Baru tersadar setelah suara meninggi atau keluhan keluar begitu saja. Hal seperti ini masih sering terjadi. Lupa menjaga perasaan, lupa menahan reaksi, lalu muncul kesadaran, “Kok jadi kesel, ya?” atau “Padahal sepele.” Di titik itu, aku tidak lagi berpura-pura kuat. Diakui saja: sedang capek, sedang sensitif, sedang butuh jeda. Kadang emosi memang sudah terlanjur keluar lebih dulu. Saat itu, yang dilakukan bukan memaksa diri langsung tenang, tapi mengingat satu kata sederhana: bismillah, bisa. Bukan sebagai solusi instan, melainkan pengingat agar tidak larut terlalu lama dalam cemas, kesal, dan marah. Belajar berhenti sejenak. Menarik napas. Menurunkan suara hati yang sedang ribut.

Belajar tenang bukan hanya saat ada orang yang menyulut emosi. Tapi juga belajar menerima hal-hal di luar kendali. Belajar tidak banyak menuntut. Tidak selalu mengharapkan pujian. Tidak berharap dihargai dengan versi kita sendiri, mencoba tidak over thinking, tidak berprasangka buruk. Semua itu ternyata membantu membuat perasaan lebih stabil. Kalau lelah, istirahat dulu. Kalau capek, jeda dulu. Kalau lagi malas lihat cucian numpuk, ya nanti saja—daripada dikerjakan dalam kondisi capek lalu ujung-ujungnya emosi. Siapa nih emak-emak yang sudah mulai mencoba hidup seperti ini?

Oh iya, satu hal lagi. Ternyata tidak banyak tahu itu bikin hati lebih adem dan tenang. Jangan terlalu kepo dengan urusan orang lain yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kita. Tanpa sadar, kita sering membawa masalah orang lain ke dalam pikiran sendiri, membebani diri dengan sesuatu yang bukan tanggung jawab kita. Tidak perlu selalu bertanya, apalagi sok memberi solusi atau sok jadi pahlawan. Berat banget. Kalau ada teman yang memang butuh pendapat atau sudut pandang kita, ya silakan beri seperlunya. Setelah itu, lepaskan. Jangan dipikirkan terus seolah-olah itu masalah sendiri.. Semoga kita selalu diberi kemudahan dan  kesadaran penuh untuk bisa hidup lebih tenang. Aamiin. 

------------

Baca Juga:

Belajar Sadar Diri dan Memahami Luka Orang Lain

Posting Komentar